Kamis, 08 Desember 2016

Pemikiran Jurgen Habermas Tentang Kepentingan dalan Pengembangan Ilmu
Habermas mengkritik konsep teori murni atau teori sejati karya yang dilahirkan dari pemahaman fenomologi Husselr, pendekatan fenomenologi Husler ini berusaha menemukan hubungan antara teori dengan dunia kehidupan yang dihayati (Santoso, 2003: 231).  Menurut Habermas, usaha pencarian teori murni untuk menemukan tatanan kosmos yang bersifat tetap dan abadi adalah usaha yang sia-sia atau hanya sebuah khayalan belaka jika subjektivitas peneliti dihilangkan. Bagaimana bisa diperoleh sebuah penjelasan ilmiah yang bebas dari kepentingan-kepentingan subyek peneliti jika subyek itu sendiri ikut terintegrasi dalam kegiatan tersebut. Habermas menilai, dengan menyembunyikan kaitan antara pengetahuan dengan kepentingan dan pengklaiman bahwa dirinya netral objektif, saat itu pula ilmu pengetahuan sedang melaksanakan kepentingannya.
Sebelum jauh membahasa mengenai kepentingan dalam pengembangan ilmu, terlebih dahulu akan dipaparkan pembagian ilmu pengetahuan menurut Habermas seperti berikut:
1)      Kelompok ilmu empiris, adalah ilmu alam yang menggunakan paradigma positivisme, kepentingannya adalah menaklukkan, menemukan hukum-hukum dan mengontrol alam.
2)      Ilmu-ilmu humaniora, yang memiliki kepentingan praktis dan saling memahami, seperti ilmu pengetahuan sosial budaya. Kepentingan ilmu ini bukan untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan membebaskan, tetapi memperluas saling pemahaman.
3)      Ilmu kritis yang dikembangkan melalui refleksi diri, sehinga melalui refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi yang tidak adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan. Kepentingannya adalah emansipatoris.
Habermas berpendapat bahwa setiap manusia dalam mengembangkan suatu ilmu pengetahuan tidak mampu berbuat netral terhadap realitas, akan tetapi selalu didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang mendorong ilmu pengetahuan lahir. Kepentingan ini hilang dalam setiap perbincangan mengenai ilmu, Habermas yang merupakan seorang penganut filsafat kritis beranggapan bahwa menunjukkan kepentingan-kepentingan adalah tugas dari teori kritis (Hardiman, 1993: 7). Berkenaan dengan pendapatnya mengenai hubungan adanya kepentingan dalam pengembangan ilmu, Habermas menawarkan sebuah konsep Erkenntnisleitende Interess (kepentingan yang menjuruskan pengenalan). Dalam hal ini Habermas membedakan kepentingan menjadi tiga macam yang akan dijelaskan sebagai berikut sebagaimana yang terdapat dalam Hardiman  (1993: 165-178) :
1)      Kepentingan pengenalan teknis, adalah jenis pengenalan yang didorong oleh kepentingan pengenalan teknis, misalnya pengenalan ilmu pengetahuan alam dan pengenalan sosial-teknologis, hanya dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah teknis, tapi tidak berguna untuk melestarikan proses-proses komunikatif atau mengurangi ketidaksamaan kuasa (permasalahan sosial-politis dan budaya)
2)      Kepentingan pengenalan praksis, merupakan jenis pengenalan yang didorong oleh kepentingan pengenalan praksis, misalnya pengenalan tentang masa lampau yang dicari dalam ilmu sejarah dan pengertia yang diupayakan dalam ilmu-ilmu hermeneutis, tidak dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah teknis tapi cocok untuk tujuan komunikatif: guna melestarikan tradisi dan memperdalam pengertian diri suatu kebudayaan.
3)      Kepentingan pengenalan emansipatoris, adalah jenis pengenalan yang didorong oleh kepentingan pengenalan emansipatoris, misalnya pengertian psikoanalitis dan teori-teori kritis tentang masyarakat, terarah pada emansipasi atau pembebasan dari keadaan kekuasaan yang menindas serta ketergantungan dan karena itu hanya dapat dijalankan dalam konteks proses-proses yang bertujuan meningkatkan kesadaran emansipatoris manusia dalam masyarakat.
Melalui penjelasan mengenai tiga macam kepentingan diatas, Habermas ingin menunjukan bahwa pandangan ilmu pengetahuan postivis (ilmu pengetahuan alam termasuk juga ilmu pengetahuan sosial demi mengejar sebutan ilmiah) sebenarnya dilatarbelakangi atau didorong usaha memutlakan kepentingan pengenalan teknis. Padahal umat manusia masih mempunyai kepentingan-kepentingan fundamental yang lain daripada memperoleh pengatahuan teknis yang dapat diterapkan dalam proses-proses pekerjaan seperti dalam industri modern. Misalnya, dampak sosial budaya serta dampak ekologi disekitar industri modern. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan antara kepentingan dengan pengetahuan tersebut hanyalah kepentingan teknis belaka yang telah menghasilkan ilmu-ilmu empiris-analitis, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial empiris.
Dominasi kepentingan teknis menjadikan ilmu-ilmu empiris-teknis lebih berhubungan dengan kekuatan-kekuatan produktif atau berorientasi pada usaha untuk melakukan kontrol teknis atas alam, manusia dan masyarakat. Sementara dominasi kepentingan praktis telah menghasilkan ilmu-ilmu historis-hermeneutis, baik ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu sosial-simbolis. Kepentingan ini bertujuan menjadi bagian dari kekuatan-kekuatan komunikatif yang memajukan interaksi sosial, yaitu dapat memperluas intersubyektivitas otentik serta mengurangi intersubyektivitas yang tertindas maupun yang tidak terartikulasikan. Sedangkan ilmu-ilmu kritis lebih menekankan diri pada kepentingan kognitif emansipatoris melalui kekuatan refleksi diri untuk melakukan kerja emansipatons manusia dari kesadaran palsu (Hardiman,1993: 192-193).

DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Lastiono. et. al. 2003. Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri.Yogyakarta: Ar-Ruzz Press.

Hardiman, Budi. 1990. Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.

Senin, 19 September 2016

Sejarah Perkembangan dan Tokoh Sosiologi

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI
(August Comte dan Sosiologi)


August Comte, seorang pemikir Prancis adalah orang pertama yang mencetuskan istilah sosiologi dalam karya terbesarnya berjudul Cours de Philosophie yang terdiri dari enam volume, dimulai cetakan volume pertama pada tahun 1830 hingga akhirnya pada tahun 1842 buku ini diterbitkan sekaligus (Ritzer, 2012:24). Comte menggunakan istilah sosiologi sebagai pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat. Comte resah dan gelisah saat itu dengan kekacauan yang terjadi di eropa khusunya di negaranya sendiri Prancis akibat  revolusi yang terpengaruh oleh filsafat pencerahan. Menghadapi keadaan tersebut, Comte mengembangkan pemikiran ilmiahnya yang dikenal dengan positivisme atau filsafat positif sebagai bentuk perlawanan terhadap filsafat pencerahan yang menurutnya memiliki sifat negatif dan destruktif (Ritzer, 2012:24).  Comte tidak menghendaki adanya perubahan revolusioner karena menurutnya perubahan masyarakat yang alami akan lebih baik dampaknya.
Pemikiran Comte tentang masyarakat sejalan dan dipengaruhi oleh pemikiran Bonald dan Maistre para pemikir Katolik kontrarevolusioner, namun pada akhirnya harus diakui bahwa karya Comte dapat diisahkan dari karya mereka karena dua sebab. Pertama, Comte menganggap bahwa mengembalikan zaman ke abad pertengahan merupakan suatu hal yang mustahil karena kemajuan ilmu dan industri pada saat itu yang kian mendesak ke arah perubahan. Kedua, Comte justru mengembangkan sebuah teori yang lebih canggih dan memadai untuk pengembangan sosiologi di masa awal. Menurut Comte, ilmu baru yang disebut sosiologi lekat hubungannya dengan statika sosial dan dinamaika sosial (struktur-struktur sosial yang ada) dan dinamika sosial (perubahan sosial), menurutnya dinamaika sosial memiliki posisi yang lebih penting. Pendapatnya ini sekaligus memberi gambran kepada kita bahwa sejak awal memang Comte sangat tertarik dengan pembaharuan.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Comte  mengembangkan sebuah teori yang disebut hukum tiga tahap yang  memiliki asumsi bahwa ada tiga tahapan perkembangan intelektual yang terjadi di sepanjang sejarah dunia. Comte berpendapat bahwa yang mengalami perkembangan tiga tahap tersebut tidak hanya dunia saja, tetapi kelompok, masyarakat, ilmu, individu bahkan pikiran pun mengaami hal yang sama. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang hukum tiga tahap menurut August Comte (Ritzer, 2012: 24):   
1.      Tahap teologis (sekitar tahun 1300); Pada masa ini, sistem ide utama menekankan kepercayaan bahwa pangkal dari segala sesuatu di dunia ini termasuk di dalamnya peristiwa-peristiwa sosial adalah kekuatan-keuatan supernatural dan tokoh-tokoh agamis yang menjadi teladan manusia. Jadi, secara khusus pada masa ini semua hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat dianggap murni dihasilkan oleh tuhan saja.
2.      Tahap metafisik (sekitar tahun 1300-1800); pada masa ini berlaku keprcayaan bahwa daya-daya abstarak seperti “alam” lah yang menjelaskan hampir  segala sesuatu dan bukan dewa yang berpribadi.
3.      Tahap positivistik (tahun 1800); di masa ini mulai bermunculan dalam kehidupan masyarakat kepercayaan terhadap ilmu. Manusia cenderung mengabaikan kekuatan-kekuatan absolut seperti tuhan dan alam sebagai penyebab dari segala kejadian di dunia sosial, tetapi lebih memperhatikan pada dunia sosial itu sendiri untuk mencari hukum-hukum yang mengaturnya.
Dari pemikiran Comte tentang hukum tiga tahap, kita bisa lihat bagaiman Comte menaruh perhatian yang besar pada faktor-faktor intelektual yang dianggapnya sebagai penyebab kekacauan sosial. Menurutnya, kekacauan sosial muncul dari sistem-sistem ide pada zaman teologis dan metafisik, kemelut yang terjadi pada dunia sosial baru akan berhenti ketika zaman sudah dikendalikan oleh poitivisme karena hal tersebut merupakan tahap perubahan evolusioner yang dianggap lebih baik dari revolusioner yang dinilainya banyak mendatangkan kerusakan dan kekacauan.
Untuk menjadikan sosiologi sebagai sebuah ilmu, Comte menekankan kepada para sosiolog untuk melakukan kajian ilmiah serta turun ke lapangan dan melakukan riset sosiologis untuk menggali segala permasalahan dunia sosial. Dia mendesak agar para sosiolog tidak hanya melakukan pengamatan namun juga eksperimentasi dana analisis historis komparatif.  Comte memfokuskan sosiologi tidak pada individu melainkan pada basis data yang lebih besar misalkan keluarga sebagai unit dasar analisis. Pemikiran-pemikiran Comte terutama tentang karakter sistematis masyarakat memberi sumbangan yang sangat besar pada perkembangan teori-teori sosiologi selanjutnya dan mengilhami pemikiran tokoh-tokoh sosiologi setelahnya khusunya Spencer, Parsons dan Durkheim. Sebagai orang pertama yang mencetuskan istilah sosiologi dan mengingat pada karyanya yang bepengaruh besar pada awal perkembangan sosiologi, maka pantas August Comte diberi gelar bapak sosiologi.


Refernsi: Ritzer, G. 2012. Teori Sosiologi Modern: dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.